Thursday, January 13, 2011

Perjalananku Dalam Aksi; Untuk Sebuah Pengabdian

Unjuk rasa yang berlangsung kemarin bertepatan pada tanggal 20 oktober menjadi momen penting dalam dinamika politik-sosial ke-Indonesiaan. unjuk rasa memperingati satu tahun pemerintahan SBY -boediyono yang berlangsung didepan istana ke-presidenan pun bahkan menggema diberbagai pelosok penjuru daerah. ini menjadi bukti bahwa mahasiswa, buruh dan LSM menyuarakan aspirasi rakyat.
Aksi yang terjadi memperlihatkan mata saya bahwa realitas yang terjadi memberi bukti diantara massa ada yang terkoordinir solid dan ada yang memang mereka membuat suasana menjadi ricuh. bila saya telisik lebih dalam kacamata idealisme gerakan, menjadi menarik jika dipetakan dalam paradigma dan alasan kenapa mereka aksi. banyak diantara masyarakat bertanya terhadap aksi yang terjadi dimana-mana, apakah massa aksi tersebut adalah titipan yang dibayar oleh elit? pertanyaan itu menjadi keprihatinan dari saya, apalagi dalam kondisi genting saat ini kita bisa melihat mana yang seharusnya aksi-aksi disuarakan oleh mahasiswa yang memilih idealis dan independen atau malah cenderung pragmatis.
Aksi unjuk rasa tentunya mempunyai alasan tersendiri dan pastinya akan mengusung pesan kekacewaan atas kebijakan yang berdampak pada masyarakat secara mayoritas. apalagi aksi kekacewaan terhadap pemerintahan SBY-budiono, jelas jelas menjadi bukti bahwaprsiden beserta kroni-kroninya tidak dapat mengemban amanah rakyat, apalagi janji-janjinya saat kampanye PILPRES acapkali hanya menjadi lipstik kampanye politik dan berujung pada pembualan-pembualan.
Sadar atau tidak mahasiswa telah menggelorakan semangat revolusi walaupun masih ada yang setengah hati. aksi kemarin menjadi sederetan PR panjang kita semua, saat saya ditengah kepungan massa aksi melihat betapa bengalnya pemerintahan dinegara ini, mereka yang dipercaya tidak mampu mengambannya sedangkan aksi dengan ribuan massa ternyata disambut oleh aparat yang bersiaga dengan jumlah yang lebih banyak, apakah ini yang dinamakan "PENGAMANAN", mengerti atau tidak bahwa ini menakut-nakuti masyarakat yang tidak mempunyai nyali dan menjadi teror tembak ditempat bagi aksi yang dinyatakan ricuh.
klaim-klaim diatas merupakan bentuk demoralisasi aparat dan melawan asas demokrasi yang harusnya bersinergi tanpa ada represifitas aparat terhadap rakyat. jangan sampai kejadian yang mengakibatkan seorang mahasiswa terkena peluru dijakarta kemarin dan penangkapan massa aksi diliaht sebalah mata, kita perlu mengoreksi. memang ada beberapa massa aksi tidak sehat " berkepantingan untuk sekedar diekspose media" untuk pencitraan organisasi dan inilah yang kemudian memecah soliditas aksi aliansi dan front besar yang harusnya bisa bersatu. ada yang berkepentingan dengan titipan dan ada yang berkepentingan dengan bertabrakannya masalah dilapangan disulut oleh oknum-oknum yang menginginkan kericuhan. yang paling menyedihkan terindikasi beberapa massa aksi sudah dulu meminum-minuman keras (alkohol) inilah yang membuat saya sedih,kenapa disaat idealisme menggema ada orang yang tidak senang kemudian menyusup massa aksi tandingan dengan cara yang sangat tidak intelek.
Tapi itulah realitas, dalam kurun massa yang begitu besar ada saja ulah yang dilakukan oleh massa aksi untuk berebut media dengan menampilkan aksi yang mungkin lebih seksi dengan anarkis. tuntutan rakyat jelas mereka semua ingin membangunkan keadilan yang kini tersita dan terbelenggu oleh para penguasa. probelem kemiskinan kian hari bukan malah berkurang tapi malah kian bertambah, rakyat belum sejahtera, apalagi msalah kedaulatan negara dan dpenghormatan terhdap hak asasi manusia. kooptasi jelas nyata terhadap semua kebijakan yang diputuskan dan tangan asing bermain cantik dengan menghasilkan undang-undang ayang sengaja sudah dipesan melalui elit penguasa.
teriakan masayarakat dalam massa aksi yang dimotori oleh mahasiswa menjadi bukti bahwa sebagisn besar msyarakat menginginkan perubahan akan nasib bangsa. Berbagai kebijakan neoliberal yang merupakan kelanjutan dari pemerintahan SBY yang pertama ini seharusnya dapat diakhiri bila pemerintah sungguh-sungguh menegakkan kemandirian ekonomi dan kedaulatan nasional. Namun kini jelaslah bahwa kepentingan bangsa bukanlah agenda prioritas pemerintahan SBY-Budiono. Sejak dilantik setahun yang lalu, pemerintahan SBY-Budiono hanya meneruskan dan bahkan menegaskan sifat kebijakan yang merugikan bangsa seperti di bawah ini:
1. Pro Penjajahan Asing.
Sejak sebelum terpilih pun SBY-Budiono adalah pasangan yang difavoritkan oleh kekuatan finansial di pasar modal dan perusahaan-perusahaan raksasa asing seperti Chevron, Halliburton, Freeport, ExxonMobil yang telah mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan serakah dan menyebabkan kemiskinan dan penderitaan penduduk setempat. Sebagai contoh, perusahaan transnasional raksasa asal AS, Freeport, mengeruk tambang emas terbesar di dunia yang terletak di Papua, sementara nilai royalty yang dibayarkannya ke pemerintah adalah yang terendah di dunia. Bentuk-bentuk penjajahan seperti ini berlangsung di seluruh penjuru negeri tanpa ada inisiatif sungguh-sungguh oleh pemerintah SBY-Budiono untuk menghentikannya atau menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan.

Begitu pun institusi keuangan internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) berdiri di belakang SBY-Budiono karena pemerintahan ini gemar menggunakan utang yang mereka tawarkan, yang sesungguhnya menjerat bangsa ini dalam ketergantungan. Cara pembayaran utang yang dilakukan oleh SBY-Budiono - yakni dengan bergantung pada pengetatan anggaran, pemotongan subsidi, dan ekspor bahan baku - dilakukan menurut dikte negeri-negeri penjajah/imperialis (negeri G-7) yang diinstruksikan kepada negeri-negeri berkembang dalam pertemuan-pertemuan G-20. Sebagai bentuk kepatuhannya, SBY-Budiono memangkas subsidi sebesar Rp 26,5 trilyun dalam RAPBN 2011.
Pemerintah SBY-Budiono menunjukan peningkatan Pendapatan Domestik Bruto (PDB/GDP) sebagai bukti keberhasilan kebijakan ekonominya. Yang tidak disinggung oleh mereka adalah sebagian besar angka PDB tersebut merupakan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Sementara yang dirasakan oleh mayoritas rakyat adalah biaya hidup yang melonjak, kemiskinan yang meluas, dan lapangan kerja yang menyusut.
Tidaklah mengherankan bila SBY-Budiono mendapat berbagai pujian dan penghargaan dari pihak asing. Majalah “Time” menempatkan SBY sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia, “The Economist” menyebut SBY sebagai “kampiun bagi investor asing”, dan pidato SBY di Universitas Harvard diklaim sebagai terbaik dalam abad ke-21 oleh seorang penulis AS . Sebaliknya, di mata rakyat Indonesia, SBY semakin tampak sebagai seorang Gubernur Jendral yang bekerja untuk kaum penjajah dan oleh karenanya tidak pernah berpihak pada kepentingan bangsa.
2. Menyingkirkan Rakyat dari Demokrasi.
Bertentangan dengan klaim keberhasilan SBY-Budiono tentang demokrasi yang berkualitas; di bawah pemerintahan mereka kualitas demokrasi justru merosot tajam. Dalam menjamin hak dasar demokrasi saja, yakni hak berserikat dan berkumpul, SBY-Budiono telah gagal melaksanakan kewajibannya. Penyerangan kelompok Islam fundamentalis terhadap acara-acara politik kerakyatan, hingga terhadap jemaat HKBP di Bekasi, menunjukan bahwa pemerintah SBY-Budiono berulangkali tidak mampu melindungi warga negara dan menjamin pelaksanaan hak berserikat dan berkumpul sebagaimana termaktub dalam UUD 45 pasal 28.
Praktek demokrasi elektoral sendiri semakin penyakitan dengan maraknya politik uang yang menyebabkan politik berbiaya tinggi (high-cost politics). Dengan praktek politik seperti ini, peran rakyat dalam menentukan pilihan dan mencalonkan diri untuk dipilih menjadi tersingkir dan digantikan dengan kepentingan pihak-pihak yang memiliki modal raksasa. Tak lain dari SBY-Budiono dan partai pendukungnya, Partai Demokrat, yang paling diuntungkan oleh politik uang semacam ini.
3. Gagal Memberantas Korupsi.
Catatan pemberantasan korupsi menunjukan perkembangan yang minus. Alih-alih korupsi diberantas, SBY-Budiono justru mengambil kebijakan-kebijakan yang menolong koruptor. Bulan-bulan awal SBY-Budiono memerintah ditandai dengan upaya kriminalisasi dan pelemahan Komite Pemberantas Korupsi (KPK). Kasus Bank Century yang begitu penting dan kakap diupayakan untuk digiring ke jalan buntu oleh para wakil-wakil Partai Demokrat di DPR. Ketika mantan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dipanggil oleh KPK untuk memberikan keterangan terkait kasus tersebut, SBY memindahkannya ke AS. Kekecewaan demi kekecewaan semakin bertambah ketika momen-momen perayaan seperti Lebaran dan Hari Kemerdekaan justru digunakan oleh SBY untuk memberikan remisi dan grasi kepada koruptor-koruptor kakap. Setahun pemerintahan SBY-Budiono telah terang-terang menghapus kebohongan citra ‘bersih’ yang hendak mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri.
4. Gagal Turunkan Harga
Kebijakan liberalisasi perdagangan dijalankan pemerintah tanpa mempedulikan kepentingan industri nasional, sehingga industri-industri domestik terancam bangkrut akibat membanjirnya barang-barang impor. Di bidang pertanian, ketergantungan terhadap produk impor semakin mematikan penghidupan kaum tani dan menjadikan negeri ini sangat rentan terhadap lonjakan harga pangan, yang banyak dipengaruhi oleh spekulasi finansial terhadap komoditas pertanian dasar. Dengan menjalankan kebijakan neoliberal yang bertumpu pada kehendak pasar, SBY-Budiono membengkalaikan upaya membangun kedaulatan pangan dan tidak akan mampu mengontrol kenaikan harga yang dapat terjadi sewaktu-waktu.
Atas alasan-alasan di atas kami menyatakan bahwa pemerintahan SBY-Budiono telah gagal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyat. Dengan ini kami menyerukan kepada segenap rakyat untuk melibatkan diri dan menggalang kekuatan untuk menyuarakan kegagalan pemerintahan SBY-Budiono dan menyelamatkan bangsa ini dari keterpurukan yang mereka sebabkan.
Karena itu, kami akan melakukan konsultasi dengan rakyat, yaitu dengan menggalang tanda tangan mosi tidak percaya terhadap rejim neoliberal SBY-Budiono. Ini akan dilakukan dengan terjun langsung ke kampung-kampung, pemukiman, pabrik-pabrik, desa-desa, dengan mengetuk satu per satu pintu rumah rakyat dan menawarkan petisi untuk mosi tidak percaya untuk mengetahui bahwa telah banyak rakyat yang memandang SBY-Budiono gagal dan perlu segera diganti.
semoga apa yang disuarakan dari massa aksi mampu membuka mata fisik dan mata hati para pemimpin dan elit dinegeri ini. sadar atau tidak semua untuk kebaikan dan perbaikan bangsa kita.
saya hanya menginginkan sedikit dari aspirasi perwakilan massa masyarakat, bahwa semua hanya ingin satu yaitu perubahan bagi rakyat dan keadilan bersanding dengan kesejahteraan.
mari kita kritis dan peduli mengerti akan tugas kita, bahwa aksi kedang memang perlu sebagai penyampai aspirasi. dan masih banyak yang lain misal dengan menulis dan pastinya kita akan tahu dan sadar dengan sinambungnya tanggungjawab bersama dan kitalah sebagai generasi muda yang harus tampil untuk menginspirasi seluruh elemen masyarakat yang ada. saya sakin suatu saat pastu\i semua yang kita usahakan saat ini akan menuai hasil.
perubahan memang tidak hanya disuarakan tapi perlu ditambah dengan semangat dan aksi nyata.....

salam revolusi untuk perubahan.
sahardjo, malam hari dalam keheningan 20/10/2010

No comments: