Wednesday, March 15, 2006

Sudah Saatnya Mengangkat Harkat Petani

Indonesia adalah negara agraris,negara yang tanahnya subur, karena itu seperti istilah Bung Karno "lautan emas" wajar, menjadi julukan bagi Bangsa Indonesia. Berbagai jenis tanaman dapat tumbuh dan berkembang di tanah air. Kekayaan alam ini hampir tak tertandingi negara manapun di dunia. Karena itu, tak heran begitu banyak (mayoritas) warga negara yang kemudian menggantungkan hidupnya kepada kesuburan alam tersebut. Mereka disebut sebagai petani, baik yang tradisionil maupun yang modern.
Suburnya tanah Indonesia didukung pula dengan luasnya lahan untuk pertanian. Sehingga dengan demikian, lengkaplah sudah kegembiraan kita sebagai bangsa. Akan tetapi, timbul pertanyaan bagaimanakah nasib masyarakat Indonesia, khususnya para petani dari dulu hingga sekarang ini? Sudahkah mereka mengalami taraf hidup yang relatif baik, selayaknya kekayaan tanah dari negara yang mereka diami sekarang ini?
Pertanyaan tersebut amat penting untuk kita refleksikan. Karena hampir tak ada yang membantah bahwa nasib atau keadaan petani pada umumnya dan kaum pinggiran lainnya, cenderung terpuruk. Salah satu penyebabnya adalah posisi petani yang lemah ketika diperhadapkan dengan berbagai dimensi kehidupan lainnya. Petani sebagai bahagian dari masyarakat, selama ini cenderung dimarginalkan. Artinya, nasib petani hampir mirip dengan nelayan, buruh, dan kaum miskin kota lainnya, yang selalu menjadi korban pertama dari setiap ada kebijakan pemerintah, seperti kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga Sembako. Kemudian nasib petani semakin terpuruk lagi, karena ulah para cukong dan tengkulak yang dengan kekuatannya mampu mengontrol harga-harga. Disinilah pemerintah kurang memainkan perannya.
Adanya kebijakan pemerintah yang belakangan dinilai oleh banyak kalangan sebagai kebijakan yang kurang populer, ternyata sangat memberatkan bagi petani. Tingginya biaya hidup, sementara produksi cenderung menurun, membuat lilitan lingkaran setan kemiskinan menjadi amat menyakitkan bagi mereka. Anak-anak mereka pun banyak yang akhirnya putus sekolah.
Bagaimanapun, petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian harus ditolong untuk bisa keluar dari penderitaan tersebut. Produksi hasil pertanian mereka harus dipacu. Harga-harga harus distabilkan. Mata rantai penderitaan harus diputus. Disinilah peran pemerintah, mulai dari pemerintah daerah hingga pusat, diharapkan agar lebih maksimal.
Salah satu penyebab lingkaran setan tersebut adalah soal mahalnya harga pupuk. Pada hal, seperti kita ketahui bahwa pupuk adalah komponen penting dalam meningkatkan hasil produksi pertanian. Jika harga pupuk mahal, maka hampir dapat dipastikan petani akan kesulitan dalam mendapatkannya, dan pada akhirnya akan menyebabkan produksi menjadi menurun.
Mahalnya harga pupuk, banyak bibit asli yang beredar di masyarakat, menurut para petani, telah membuat mereka kesulitan untuk meningkatkan hasil produksinya. Karena itu, mereka sangat berharap adanya perhatian serius dari pemerintah. Salah satunya adalah dengan menghentikan impor beras. Pemerintah harus melindungi petani yang terus dalam kondisi terpuruk dengan menghentikan impor beras. Karena disamping stok beras yang masih mencukupi, hal ini juga berarti terbuka kesempatan yang luas bagi para petani untuk memasarkan hasil produksinya.
Persoalan selama ini yang dihadapi para petani adalah menyangkut rendahnya harga jual hasil pertanian mereka. Ini seolah menambah mata rantai penderitaan para petani. Jika harga bahan atau keperluan petani mahal, maka seyogianya harga jual produksi pertanian juga harus tinggi. Dengan demikian ada keseimbangan. Petani akan dapat bernafas lega. Jika tidak maka penderitaanlah yang menghantui mereka. Berkaitan dengan itulah, kini saatnya pemerintah untuk semakin memperhatikan nasib petani.
petani merupakan sosok pekerja keras yang kerapkali di lupakan dan perlu diingat bahwa hak-hak mereka perlu diperjuangkan.... hidup rakyat kecil...lawan penindasan..lawan....lawan dan lawan

No comments: